Senin, 12 Desember 2011

Musthofa Abdussalam Syah

• Al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam as-Sayyid Muhammad Murtadla az-Zabidi al-Hanafi (w 1205 H) dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin menjelaskan panjang lebar perkataan al-Imam al-Ghazali bahwa Allah mustahil bertempat atau bersemayam di atas arsy. Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Din, al-Imam al-Ghazali menuliskan sebagai berikut: “al-Istiwa’ jika diartikan dengan makna bertempat atau bersemayam maka hal ini mengharuskan bahwa yang berada di atas arsy tersebut adalah benda yang menempel. Benda tersebut bisa jadi lebih besar atau bisa jadi lebih kecil dari arsy itu sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” .
Dalam penjelasannya al-Imam az-Zabidi menuliskan sebagai berikut:

“Penjabarannya ialah bahwa jika Allah berada pada suatu tempat atau menempel pada suatu tempat maka berarti Allah sama besar dengan tempat tersebut, atau lebih besar darinya atau bisa jadi lebih kecil. Jika Allah sama besar dengan tempat tersebut maka berarti Dia membentuk sesuai bentuk tempat itu sendiri. Jika tempat itu segi empat maka Dia juga segi empat. Jika tempat itu segi tiga maka Dia juga segi tiga. Ini jelas sesuatu yang mustahil. Kemudian jika Allah lebih besar dari arsy maka berarti sebagian-Nya di atas arsy dan sebagian yang lainnya tidak berada di atas arsy. Ini berarti memberikan paham bahwa Allah memiliki bagian-bagian yang satu sama lainnya saling tersusun. Kemudian kalau arsy lebih besar dari Allah berarti sama saja mengatakan bahwa besar-Nya hanya seperempat arsy, atau seperlima arsy dan seterusnya. Kemudian jika Allah lebih kecil dari arsy, -seberapapun ukuran lebih kecilnya-, itu berarti mengharuskan akan adanya ukuran dan batasan bagi Allah. Tentu ini adalah kekufuran dan kesesatan. Seandainya Allah -Yang Azali- ada pada tempat yang juga azali maka berarti tidak akan dapat dibedakan antara keduanya, kecuali jika dikatakan bahwa Allah ada terkemudian setelah tempat itu. Dan ini jelas sesat karena berarti bahwa Allah itu baharu, karena ada setelah tempat. Kemudian jika dikatakan bahwa Allah bertempat dan menempel di atas arsy maka berarti boleh pula dikatakan bahwa Allah dapat terpisah dan menjauh atau meningalkan arsy itu sendiri. Padahal sesuatu yang menempel dan terpisah pastilah sesuatu yang baharu. Bukankah kita mengetahui bahwa setiap komponen dari alam ini sebagai sesuatu yang baharu karena semua itu memiliki sifat menempel dan terpisah?! Hanya orang-orang bodoh dan berpemahaman pendek saja yang berkata: Bagaimana mungkin sesuatu yang ada tidak memiliki tempat dan arah? Karena pernyataan semacam itu benar-benar tidak timbul kecuali dari seorang ahli bid’ah -yang menyerupakan Allah denganmakhluk-Nya-. Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda (kayf) mustahil Dia disifati dengan sifat-sifat benda itu sendiri. -Artinya Dia tidak boleh dikatakan “bagaimana (kayf)” karena “bagaimana (kayf)” adalah sifat benda-
Di antara bantahan yang dapat membungkam mereka, katakan kepada mereka: Sebelum Allah menciptakan alam ini dan menciptakan tempat apakah Dia ada atau tidak ada? Tentu mereka akan menjawab: Ada. Kemudian katakan kepada mereka: Jika demikian atas dasar keyakinan kalian -bahwa segala sesuatu itu pasti memiliki tempat- terdapat dua kemungkinan kesimpulan. Pertama; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa tempat, arsy dan seluruh alam ini qadim; ada tanpa permulaan -seperti Allah-. Atau kesimpulan kedua; Bisa jadi kalian berpendapat bahwa Allah itu baharu -seperti makhluk-. Dan jelas keduanya adalah kesesatan, ini tidak lain hanya merupakan pendapat orang-orang bodoh dari kaum Hasyawiyyah. Sesungguhnya Yang Maha Qadim (Allah) itu jelas bukan makhluk. Dan sesuatu yang baharu (makhluk) jelas bukan yang Maha Qadim (Allah). Kita berlindung kepada Allah dari keyakinan yang rusak” .

Masih dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, al-Imam Murtadla az-Zabidi juga menuliskan sebagai berikut:

“Peringatan: Keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah adalah akidah yang telah disepakati di kalangan Ahlussunnah. Tidak ada perselisihan antara seorang ahli hadits dengan ahli fiqih atau dengan lainnya. Dan di dalam syari’at sama sekali tidak ada seorang nabi sekalipun yang menyebutkan secara jelas adanya arah bagi Allah. Arah dalam pengertian yang sudah kita jelaskan, secara lafazh maupun secara makna, benar-benar dinafikan dari Allah. Bagaimana tidak, padahal Allah telah berfirman: “Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun” (QS. as-Syura: 11). Karena jika Dia berada pada suatu tempat maka akan ada banyak yang serupa dengan-Nya” .

Jangan pernah anda berkeyakinan Allah memiliki tempat, karena tampat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluk-Nya sendiri....

Waspadai ajaran Wahhabi yang mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy..

Bagaimana dikatakan di atas arsy, padahal arsy adalah makhluk Allah sendiri. sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy. apa kemudian setelah Dia menciptakan arsy menjadi berubah membutuhkan kepada arsy.. A'udzu Billah!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.