Senin, 13 Desember 2010

Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya: Pembuka Dinding Pemisah dengan Allah

Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya: Pembuka Dinding Pemisah dengan Allah PDF Print E-mail
(5 votes, average 3.00 out of 5)
Written by Fredi Wahyu Wasana   
Saturday, 04 September 2010 17:04
"Namun apabila umat Muhammad sudah berpuasa sampai memutih bibir-bibir mereka karena haus… Aku angkat dinding itu ketika mereka sedang berbuka puasa, sehingga pada saat itu Aku lebih dekat dengan mereka daripadamu.”

Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya: Pembuka Dinding Pemisah dengan Allah

"Namun apabila umat Muhammad sudah berpuasa sampai memutih bibir-bibir mereka karena haus… Aku angkat dinding itu ketika mereka sedang berbuka puasa, sehingga pada saat itu Aku lebih dekat dengan mereka daripadamu.”

Sore itu, Kamis (26/8), langit Jakarta cerah bertaburkan mega putih yang menghiasi setiap sudutnya. Angin sepoi menerpa lembut debu-debu jalanan hingga beterbangan menerpa roda-roda kendaraan yang melaju kencang menuju tujuannya masing-masing.

Sepasang tenda yang terpasang rapi di depan kantor alKisah telah siap menyambut kedatangan para jama’ah yang hendak menghadiri majelis Zawiyah alKisah, kegiatan ta`lim bulanan yang rutin digelar di kantor alKisah.

Namun, ada yang istimewa pada pelaksanaan zawiyah kali ini, karena berbarengan dengan kegiatan berbuka puasa bersama. Selain itu, majelis kali ini pun dihadiri dua orang guru yang selalu dirindukan para muhibbin Jakarta. Yakni Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, putra Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, dan Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya, cicit Guru Agung Jakarta, Habib Utsman Bin Yahya, mufti Betawi.

Menjelang azan ashar berkumandang, beberapa jama’ah sudah terlihat mulai berdatangan. Senandung Asmaul Husna dan syair-syair Burdah di dalam majelis terdengar merdu dan meresap ke dalam qalbu setiap jama’ah yang memasuki ruangan. Mereka terlihat membuat kelompok-kelompok kecil, saling bercakap-cakap dan bercengkerama riang sembari memandangi pohon-pohon palem yang berjejer memutari pancuran wudhu, di sisi kanan kantor, dan dahannya bergoyang, menari-nari kecil tertiup angin.



Pukul 16.00 jama’ah sudah memadati majelis. Pembawa acara pun membuka majelis dengan pembacaan surah Al-Fatihah, dilanjutkan dengan Wirdul Lathif, wiridan lazim majelis Zawiyah alKisah.

Memasuki akhir pembacaan Wirdul Lathif, Habib Alwi bin Utsman Bin Yahya terlihat memasuki majelis. Dengan senyum sumringah ia memberikan isyarat penghormatan kepada segenap jama’ah yang kemudian disambut pula dengan senyum gembira dan lega dari jama’ah.

Usai pembacaan Wirdul Lathif, Habib Alwi pun mulai menuturkan taushiyahnya, menjelaskan hal-ihwal berkaitan dengan puasa.    

Allah Yang Menutupi

"Rasulullah SAW bersabda, 'Berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan dari puasanya itu selain lapar dan dahaga.'

Makna hadits ini, berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala dari puasanya karena melakukan hal-hal yang menghilangkan pahala puasa.

Di antara hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa adalah sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi SAW, ‘Lima hal yang dapat membatalkan puasa (pahalanya), yaitu ghibah, namimah (adu domba), dusta, memandang dengan syahwat, dan sumpah palsu.’

Selain itu yang juga dapat menghilangkan pahala puasa ialah riya’ dan ujub, ingin disanjung orang lain dan merasa lebih istimewa dibandingkan orang lain.

Diceritakan, suatu hari Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani mengundang orang-orang untuk suatu jamuan di kediamannya. Di antara orang-orang yang diundang itu terdapat seorang yang tengah menjalankan ibadah puasa sunnah.

Syaikh Abdul Qadir kemudian mempersilakan tetamunya untuk menyantap hidangan yang telah disediakan, termasuk yang tengah berpuasa itu.

Namun orang itu enggan untuk membatalkan puasa sunnahnya.

Melihat hal itu, Syaikh berkata, ‘Batalkanlah puasamu dan makanlah hidangan yang ada. Aku menjamin di hadapan Allah puasamu hari ini diterima di sisi-Nya.’

Orang itu tetap enggan untuk membatalkan puasanya.

Syaikh berkata lagi, ‘Batalkanlah puasamu dan makanlah hidangan yang ada. Aku menjamin satu bulan puasamu diterima di sisi Allah SWT.’

Orang itu tetap juga enggan membatalkan puasanya, tidak menghiraukan kata-kata Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.

Kemudian Syaikh berkata lagi, ‘Batalkanlah puasamu dan makanlah hidangan yang ada. Aku menjamin satu tahun puasamu diterima di sisi Allah SWT.’

Meski Syaikh telah berkata untuk ketiga kalinya, orang itu tetap tidak juga menghiraukan ucapannya.

Syaikh kemudian berkata, ‘Biarkanlah orang yang jauh dari pandangan Allah ini.’

Beberapa waktu setelah terjadinya peristiwa tersebut, terdengar berita bahwa orang itu keluar dari Islam, menggadaikan imannya. Wal`iyadzu billah.

Demikianlah di antara pelajaran yang dapat diambil dari besarnya bahaya sifat riya’ dan ujub bila ada pada diri seseorang. Orang tersebut bahkan tidak lagi mengindahkan ucapan para kekasih Allah sekalipun. Padahal Nabi SAW pernah bersabda, ‘Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.’

Hal lain yang juga membatalkan pahala puasa adalah makanan yang haram. Itulah sebabnya, dikisahkan, Imam Sufyan Ats-Tsauri, bila datang waktu berbuka, ia berbuka dengan air hujan, dan bila tidak menemukannya, ia berbuka dengan air sungai yang mengalir secara alami, tidak digali oleh penguasa.

Nabi SAW bersabda, "Apabila engkau berpuasa, hendaklah engkau perhatikan dengan apa engkau berbuka dan pada siapa pula engkau berbuka." Maksudnya kita harus memperhatikan makanan yang hendak kita makan, dan bila kita diberi kesempatan untuk berbuka puasa pada seseorang yang kita yakini betul kehalalan makanannya, disunnahkan untuk berbuka padanya, karena hal itu bagian dari apa yang dianjurkan oleh Nabi SAW.

Adapun di antara keistimewaan puasa adalah bahwa puasa termasuk ibadah yang tetap dimiliki oleh orang yang melakukannya dan tidak dan tidak diberikan kepada orang lain yang dizhaliminya, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits Nabi SAW, beliau bertanya kepada para sahabat, 'Tahukah kalian tentang orang yang bangkrut?'

‘Wahai Rasulullah, mereka dalam pandangan kami adalah orang yang tak punya satu dirham pun dan tak punya barang atau harta,' jawab sahabat.

Al-muflis, atau orang yang bangkrut itu, bukan demikian, melainkan orang yang datang pada hari Kiamat dengan membawa (pahala amal) kebaikannya sebesar gunung. Namun, ia pernah menganiaya, menempeleng, dan melanggar kehormatan orang lain. Lalu mereka (pihak-pihak yang dizhalimi) mengambil seluruh kebaikannya (untuk menutupi dosa-dosa keburukan mereka), sedangkan ia menerima (dosa-dosa) keburukan mereka (yang telah dizhaliminya) untuk ditanggungnya. Lalu ia benar-benar dilemparkan dengan keras ke neraka,' jawab Nabi SAW menjelaskan.

Para ulama menerangkan, makna firman Allah dalam hadits qudsi ‘sedangkan puasa adalah milik-Ku’ adalah bahwa puasa tidak termasuk dari ibadah yang akan diberikan kepada orang lain yang dizhaliminya di akhirat nanti sebagaimana dalam hadits di atas. Bahkan bilamana pahala ibadah orang tersebut tidak mencukupi untuk menutupi kezhalimannya terhadap orang lain, Allah langsung yang akan menutupi kekurangannya. Demikianlah keistimewaan puasa bagi umat Baginda Nabi Muhammad SAW.”

Besarnya Nilai Syahadat


Setelah mendengar penjelasan Habib Alwi, beberapa jama’ah terlihat antusias untuk bertanya. Termasuk Pemimpin Redasi alKisah, Habib Harun Musawa.

"Habib, apakah menganjurkan orang lain untuk menghormati kita yang berpuasa, bahkan ada yang melakukannya dengan tindakan tegas, termasuk bagian dari riya’ dan ujub?" tanya Habib Harun Musawa, yang juga diikuti anggukan beberapa jama’ah, yang mungkin juga ingin menanyakan hal yang sama.

"Menganjurkan orang lain untuk menghormati kita yang berpuasa, insya Allah tidak termasuk bagian dari riya’ dan ujub. Karena hal itu bukan untuk pribadi kita, melainkan bertujuan untuk memberikan pelajaran dan peringatan kepada masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai sesamanya yang sedang dalam menjalankan ibadah,” jawab Habib Alwi.

Menjelang pukul 17.00, jama’ah mulai terlihat gelisah, karena Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, yang tengah ditunggu-tunggu, belum juga kunjung datang, padahal sebelumnya sudah terdengar kabar bahwa ia sudah berada di perjalanan mendekati kantor alKisah.

Pukul 17.30, terdengar kembali kabar bahwa Habib Ali terjebak macet di depan Polsek Matraman dan dipastikan tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju alKisah.

Akhirnya tim memutuskan untuk mendengarkan taushiyah Habib Ali melalui saluran seluler, karena jama’ah sudah sangat merindukan taushiyahnya.

"Ramadhan adalah kemuliaan dan anugerah yang sangat besar dari Allah bagi umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dipahami, salah satunya, dari dialog yang dilakuakn Nabi Musa AS dengan Allah melalui riwayat yang datang dari Nabi SAW.

Nabi Musa AS bertanya kepada Allah SWT, 'Ya Allah, apakah ada seorang manusia yang Engkau muliakan seperti Engkau memuliakan diriku, Engkau anugerahi aku dapat berdialog langsung dengan Engkau?'

Allah SWT menjawab, 'Wahai Musa, Aku benar berdialog denganmu. Akan tetapi ada jarak pemisah antara Engkau dan Aku sebanyak tujuh puluh ribu dinding cahaya. Namun apabila umat Muhammad sudah berpuasa sampai memutih bibir-bibir mereka karena haus dan menguning warna kulit mereka karena kurang tidur oleh banyaknya bangun malam, membaca Al-Quran, dan shalat Tahajjud, Aku angkat dinding itu ketika mereka sedang berbuka puasa, sehingga pada saat itu Aku lebih dekat dengan mereka daripada engkau.’

Itulah sebabnya, seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Abdullah bin Umar bila hendak berbuka puasa dia kumpulkan keluarganya dan mengajak mereka untuk membaca 'Asyhadu alla ilaha illallah, astaghfirullah, Nas-alukal jannata wan a-`udzu bika minannar (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, aku memohon ampunan kepada Allah, kami memohon surga kepada-Mu, dan kami berlindung kepada-Mu dari api neraka).'

Hal itu berdasarkan tuntunan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, 'Perbanyaklah padanya (pada saat menjelang berbuka puasa) empat hal, dua hal membuat Allah senang dan dua hal lagi kalian butuh kepadanya. Dua hal pertama, yaitu membaca syahadat dan memohon ampunan kepada-Nya, dan dua hal lagi, yaitu permohonan surga dan permohonan agar dihindarkan dari neraka-Nya.'

Suatu ketika setelah terjadinya Perang Khaibar, ketika Nabi SAW dan para sahabat tengah duduk-duduk istirahat di suatu temapat, tiba-tiba ada seseorang bertubuh hitam legam dengan pakaian yang lusuh datang dari kejauhan hendak menghampiri.

Para sahabat hendak mencegah orang tersebut mendekati Nabi SAW karena dalam keadaan darurat perang. Namun beliau memberi isyarat agar membiarkan orang itu mendekat.

Lalu orang itu berteriak dengan lantang, "Di mana Muhammad, nabi orang Arab?"

"Aku adalah nabi sekalian umat manusia?" jawab Nabi SAW dengan nada penuh wibawa.

"Apakah untungnya bila aku masuk ke dalam agamamu?" tanya orang itu lagi.
"Engkau akan mendapatkan surga," jawab Nabi lagi.

Orang itu kemudian mendekat kepada Nabi SAW.

Para sahabat pun menutup hidung mereka karena bau yang menusuk hidung yang berasal dari tubuh orang itu. Tapi tidak demikian dengan Nabi SAW.
Kemudian orang itu pun mengucapkan dua kalimah shahadat di hadapan Rasulullah SAW.

Setelah itu Nabi bertanya tentang pekerjaannya.

Orang itu menjelaskan bahwa ia bekerja sebagai penggembala kambing seorang Yahudi, namun ia menyatakan tidak akan pernah lagi menjadi penggembala kambing tetapi akan menjadi pembela agama Rasulullah SAW dan pembela setia beliau.

Nabi kemudian menyuruhnya untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya kepada pemilikinya. Nabi pun membantu orang itu untuk mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemilikinya. Beliau mengambil sedikit pasir dan menaburkannya di atas kepala kambing yang paling besar sehingga kambing-kambing itu pun kembali ke kandangnya masing-masing.

Di tengah perjalanan menuju Madinah, beberapa Yahudi yang sudah ditundukkan di Khaibar menggunakan sisa-sisa senjata mereka untuk menyerang pasukan Islam. Tiba-tiba sebusur anak panah melesit dari arah yang tidak terduga dan tepat menghunjam dada orang yang baru saja masuk Islam itu hingga tewas.

Setelah berhasil melumpuhkan segelintir penyerang Yahudi yang datang secara tiba-tiba, para sahabat sibuk mempersiapkan pemakaman.

Namun para sahabat merasa heran karena Nabi tidak ikut serta dalam pemakaman tersebut. Mereka menyaksikan Nabi tengah asyik memandangi langit, seolah ada sesuatu yang menyibukkan pandangan beliau. Para sahabat pun bertanya, "Apa yang tengah engkau pandangi, wahai Rasulullah?"

"Aku tengah bergembira memandangi calon istri-istri saudara kita yang baru saja gugur tadi," jawab Nabi SAW dengan bibir yang penuh dengan senyuman.

Perhatikanlah bagaimana besarnya nilai ucapan La Ilaha illallah Muhammadurrasulullah. Dengan ucapan itu sahabat Nabi yang baru saja masuk Islam ini sudah mendapatkan kemuliaan yang sangat tinggi bahkan calon istri-istrinya di surga kelak sudah Allah perlihatkan kepada Nabi-Nya pada saat pemakaman orang itu tengah dilaksanakan."

Jama’ah terkesima mendengarkan taushiyah Habib Ali. Meski “perjumpaan” itu hanya melalui sambungan seluler, kerinduan jama’ah sudah sedikit terobati.

Lima menit menjelang maghrib, Habib Alwi menutup majelis dengan doa.

Setelah adzan berkumandang, jama’ah pun segera menyantap hidangan ta`jil, yang telah disediakan oleh Ibu Hj. Nuniek Musawa.

Selepas shalat Maghrib, jama’ah kembali bercengkerama riang sambil menikmati nasi boks dan martabak telur istimewa. Senyum jama’ah bertambah riang lagi karena mereka pulang ke rumah masing-masing tidak hanya membawa ilmu dan keberkahan, tetapi juga goodie bag yang disediakan PT Aneka Yess, penerbit majalah alKisah, sebagai oleh-oleh bagi keluarga.

Semoga kebersamaan dan keriangan ini senantiasa beriring keberkahan dan curahan rahmat dari Allah SWT.           

MS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.