Senin, 13 Desember 2010

Habib Ali Zainal Abidin AlKaf: Istighfar, Kiat Sukses Dunia-Akhirat

Habib Ali Zainal Abidin AlKaf: Istighfar, Kiat Sukses Dunia-Akhirat PDF Print E-mail
(5 votes, average 4.80 out of 5)
Written by Fredi Wahyu Wasana   
Wednesday, 24 November 2010 16:33
“Coba kita umpamakan istighfar ini, demikian juga wiridan yang lainnya, seperti bensin bagi kendaraan kita atau seperti pekerjaan yang kita jadikan sebagai profesi …”
Ada yang lain di kantor alKisah pada siang menjelang sore hari Kamis (18/11). Sejak pukul 14.30 WIB, di ruang utama, beberapa remaja dengan mengenakan pakaian putih-putih dan sarung, yang menjadi ciri khas anak-anak majelis ta`lim, khususnya di Jakarta, terlihat duduk-duduk sembari bercanda ringan dengan senyum yang sumringah terpancar dari wajah mereka. Di tengah-tengah mereka, seorang habib muda dengan wajah yang sejuk terlihat mengulang-ngulang syair dengan gaya khasnya. Dialah Habib Muhammad Zed Al-Habsyi, tamu alKisah yang datang untuk sesi pengambilan gambar pembacaan Maulid Simthud Durar, buah karya Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi.

Untaian shalawat yang diiringi rampak pukulan hadrah yang merdu, yang ditabuh oleh santri-santri binaan Habib Muhammad Zed Al-Habsyi, terdengar penuh semangat hingga berkumandang adzan ashar bersahutan di cakrawala Jakarta. Udara yang semula terasa panas oleh terik matahari siang menjadi sejuk disertai semilir angin sepoi-sepoi yang menggerakkan dahan-dahan dan dedaunan pohon-pohon hias yang tertata rapi di halaman kantor.

Satu per satu, jama’ah setia Zawiyah alKisah pun berdatangan memenuhi ruang utama. Senda gurau kecil dan senyum riang terlihat menghiasai wajah-wajah mereka. Kegembiraan Hari Raya Qurban masih terlihat jelas dari raut wajah mereka yang tampak antusias menyaksikan pengambilan gambar Habib Muhammad Zed Al-Habsyi.

Menjelang pukul 16.00, waktu ta`lim Zawiyah alKisah, sesi pengambilan gambar  dihentikan untuk sementara. Sosok yang dinanti-nanti pun datang di tengah-tengah majelis. Dialah Habib Ali Zainal Abidin bin Abdullah Al-Kaf.

Habib Ali Zaenal Abidin Al-Kaf adalah figur yang ramah, humoris, dan rendah hati. Taushiyah yang diberikannya sering membuat yang mendengarkan menjadi tergugah dan tersentuh. Suaranya yang empuk dengan pembawaan yang bersahaja membuat dia menjadi tokoh yang cepat akrab dengan siapa saja.

Komitmennya untuk anak yatim dan kaum dhu’afa tidak diragukan lagi. Putra Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf ini membaktikan seluruh hidupnya untuk mengajar, memberdayakan, dan melayani anak yatim dan dhu’afa yang menjadi binaannya di Pesantren Riyadhul Jannah, di Gang Buluh, Condet, Jakarta Timur.

Habib Ali Al-Kaf lahir di Tegal pada 18 Oktober 1967 dari pasangan Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf dan Umi Syarifah Amar binti Agil Al-Atas.

Habib Ali menempuh pendidikan di Al-Azhar, Mesir, dari tahun 1987 sampai 1993. Sebelum melanjutkan studi ke Mesir, ia mendapat pendidikan agama dari ayahnya dan beberapa pesantren di Pulau Jawa, di samping sekolah umum di Tegal.    
Setelah dibuka dengan pembacaan Al-Fatihah dan Wirdul Lathif, yang menjadi wiridan tetap Zawiyah, pembawa acara langsung mendaulat Habib Ali untuk memberikan taushiyah:

Mengenali Diri Sendiri



Dalam setiap ayat Al-Quran terkandung rahasia. Demikian pula hadits Nabi SAW. Rahasia-rahasia tersebut, ada yang kita mengerti, tapi ada pula yang tidak kita mengerti. Ada yang kita amalkan, tapi ada pula yang tidak.

Allah SWT sudah memberikan kepada kita ilmu tentang segala sesuatu untuk kehidupan kita yang seutuhnya, baik di dunia maupun di akhirat.

Hakikat kehidupan kita adalah untuk beribadah. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56). Lalu untuk apa kita sibuk untuk urusan-urusan yang di luar ibadah?

Kalau ingin berhasil dalam hidup, jadilah manusia yang beribadah kepada Allah. Ibadah dalam artian yang luas, yaitu segala aktivitas yang mengandung kebaikan.

Itulah sebabnya, kita harus mengenali diri kita sendiri. Nabi SAW bersabda, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.”

Mengapa hidup kita sengsara, bencana silih-berganti, negara kita tak henti-hentinya dilanda musibah? Tak lain karena kita tidak mengenal diri kita sendiri, kita tidak menempatkan diri kita pada posisi semestinya.

Andaikan masing-masing kita sadar diri untuk mematuhi peraturan yang ada, tentu semuanya akan berjalan lancar, aman, dan teratur.

Bila kita tidak sadar diri, tidak mengenali diri kita sendiri, kehidupan kita akan sama halnya seperti binatang. Segala sesuatunya harus menggunakan kekerasan.

Jika ingin hidup bahagia, sukses dunia akhirat, ikuti jalur yang Allah tunjukkan kepada kita. Yakni Al-Quran, yang juga dijelaskan oleh Nabi SAW dalam sunnahnya.

Lantas, mana di antara ayat yang simpel tetapi mengandung seluruh aspek kebutuhan kehidupan manusia.
Allah SWT berfirman:

اِسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.(سورة نوح:10-12

“…Mohon ampunlah kepada Tuhan kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit. Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan kebun-kebun untuk kalian dan mengadakan sungai-sungai untuk kalian.” (QS Nuh: 10 -12).

“Mohon ampunlah (beristighfarlah) kalian kepada Tuhan kalian”, yaitu kepada Allah SWT, “sesungguhnya Dia Maha Pengampun”, artinya bukan semata-mata Allah memerintahkan kita untuk beristighfar, melainkan Allah juga berjanji akan menerima istighfar kita, mengampuni kita atas semua dosa kita.

Semua ibadah pasti ada syaratnya. Kita melaksanakan ibadah haji belum tentu diterima, kita menjalankan shalat belum tentu diterima. Namun di saat kita beristighfar, Allah mengatakan, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Artinya, pasti dosa-dosa kita akan dihapuskan oleh Allah SWT.

Coba perhatikan, Allah tidak mengatakan “akan mengampuni”, karena, bila Allah mengatakan demikian, pastilah istighfarnya akan dinilai. Apakah benar istighfarnya, sungguh-sungguh ataukah tidak, dan sebagainya. Akan tetapi Allah mengatakan, “Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.” Artinya, pasti Allah akan menerima istighfar kita, bagaimanapun kondisi dan keadaan kita. Asalkan kita benar-benar pandai beristighfar, Allah pasti menerima istighfar kita, karena Dia “Ghaffar”, Maha Pengampun.

Jika kita sudah diampuni oleh Allah, lantas apa lagi yang kita inginkan? Bukankah yang paling kita takuti adalah dosa-dosa kita? Berapa banyak rizqi kita tersendat gara-gara dosa? Berapa banyak musibah, bencana, permasalahan dalam rumah tangga, pekerjaan, dan sebagainya, ujung-ujungnya adalah akibat dari dosa-dosa kita?

Bila Allah sudah menjanjikan kepada kita akan mengampuni dosa-dosa kita, pertanyaannya, apa lagi yang mau kita cari? Dosa dihapuskan, berarti masalah kita dan urusan kita kepada Tuhan selesai. Segala rintangan, masalah, musibah, dan sebagainya selesai, terbebaskan.

Karena Allah Mencintai Kita



Mungkin ada orang bertanya, bagaimana kalau kita sudah banyak-banyak istighfar tetapi masih ada saja musibah yang menimpa kita?

Jawabannya, itu bukan bencana, bukan musibah, tetapi sekadar cobaan, karena Allah mencintai kita. Karena, bila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memberi hamba itu cobaan, dan cobaan itu bukan sekadar numpang nyoba, melainkan itu adalah rahasia Ilahi.

Misalnya seseorang ingin punya anak, lalu belum Allah berikan, berarti Allah sedang mencobanya agar bila ia lulus dari cobaan itu ia akan bisa menghadapi cobaan-cobaan lainnya.

Dalam firman tersebut Allah SWT telah menjanjikan ampunan kepada kita. Ini maknanya, dalam hidup kita ini, pastilah kita tidak mungkin akan terlepas dari dosa dan kesalahan. Dan bila kita ingin kembali kepada kondisi hakikat kita diciptakan, yaitu menyembah Allah, sebagai hamba Allah yang beribadah, satu jalur yang paling utama adalah istighfar, memohon ampun kepada Allah, karena pasti Dia akan mengampuni kita atas segala dosa dan kesalahan kita.

Andaikan ayat ini hanya sampai di sini, niscaya sudah cukup bagi manusia. Namun Allah sangat memahami makhluk yang bernama manusia, keinginan-keinginannya. Bila seseorang sudah mempunyai A, tentu ia menginginkan B. Jika B sudah ia dapatkan, pasti ia menginginkan C, dan seterusnya, meskipun pada akhirnya ia akan menginginkan sesuatu yang semula itu.
Kado, misalnya, di dalamnya tentu ada isisnya. Perhatikanlah, kado tersebut diberi kardus, dibungkus dengan kertas sampul yang indah, diberi pita kanan-kirinya, dihiasi, dan seterusnya, namun pada akhirnya semua pernak-pernik tersebut dirobek dan dibuang, dan kemudian hanya diambil isinya.

Demikianl juga dalam kehidupan kita. Ampunan Allah SWT adalah inti dari segala sesuatu yang kita cari di dunia ini. Tapi Allah Maha Mengetahui keadaan kita, sifat-sifat kita, itulah sebabnya Allah memanjakan kita, manusia.

Allah menjelaskan kepada kita dengan bahasa kasih sayang dan penuh pengertian. Setelah Allah mengatakan “Dia Maha Pengampun”, Dia mengatakan, “Yursilis-sama’a midrara (Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit).” Maksud langit dalam ayat ini adalah hujan, maksud hujan adalah air, dan maksud air adalah sumber kehidupan. Maknanya, bila seseorang banyak-banyak beristighfar, menjadi ahli istighfar, Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang sesungguhnya. Semakin banyak istighfar, semakin hidup ia dengan kehidupan yang sesungguhnya, makin menikmati hidup, makin bahagia dalam hidupnya.

Kemudian Allah melanjutkan dengan firman-Nya, “dan Dia memperbanyak harta.” Allah menggunakan kata yumdidkum, yang artinya menyodorkan. Maknanya, siapa yang banyak-banyak beristighfar kepada Allah, pasti akan Allah limpahkan kepadanya kekayaan harta benda yang banyak.

Namun bukan berarti kita diam saja di rumah dan meninggalkan usaha. Melainkan segala jalan untuk mendapatkan harta benda akan mengalir dengan sendirinya, karena Allah akan mempermudah jalannya.

Jadikan pekerjaan dan usaha kita hanya sebatas ikhtiar. Jangan sampai meyakini bahwa pekerjaanlah yang akan menjamin rizqi kita. Bekerjalah semaksimal mungkin, namun yakini bahwa yang akan menjamin rizqi kita adalah Allah SWT.

Lalu Allah melanjutkannya dengan menjanjikan, “dan anak-anak kalian dan mengadakan kebun-kebun untuk kalian dan mengadakan sungai-sungai untuk kalian.” Allah menjanjikan akan mengaruniai anak-anak sebagai pelengkap kebahagiaan hidup kita. Mengapa Allah menyebutkan anak, bukan istri-istri, di antaranya adalah karena, bila seseorang Allah karuniai anak, pastilah telah berikan kepadanya pendamping-pendamping hidup.

Kemudian Allah menjanjikan jannat, kebun-kebun, yang maknanya adalah ketenteraman dalam hidup. Hidupnya menjadi ketenteraman, hartanya menjadi ketenteraman, anak-anaknya menjadi ketenteraman, dan demikian pula pendamping-pendamping hidupnya menjadi ketenteraman baginya.

Setelah itu Allah pun menjanjikan sungai-sungai yang mengalir, yang maknanya adalah sumber kehidupan yang berkesinambungan. Ia tidak pernah merasa khawatir akan kekurangan.

Itulah sebabnya, semua rangkaian kebutuhan dalam kehidupan ini, baik di dunia maupun di akhirat, terdapat dalam istighfar. Demikianlah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa melazimkan istighfar, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap kesempitan, kesenangan dari setiap kedukaan, dan memberinya rizqi dari jalan yang tidak diduga-duga.”
Dalam hadits ini Nabi SAW menjanjikan tiga hal yang juga menjadi kebutuhan manusia, yaitu jalan keluar, kesenangan, dan rizqi.
Sebelum ditutup, saya ingin menganjurkan kepada jama’ah (dan semua kaum muslimin) untuk mengamalkan dua istighfar berikut, masing-masing dibaca 100 kali pada pagi dan malam hari menjelang tidur, yaitu:     

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
Rabbighfir li wa liwalidayya

“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan juga kedua orangtuaku.”

Adapun caranya, setiap 10 kali membaca istighfar di atas, bacalah:

وَارْحَمْهُمَا كَمَارَبَّيَانِي صَغِيْرًا

Warhamhuma kama rabbayani shaghira.

“Dan kasihanilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu aku kecil.”

Adapun istighfar yang kedua adalah sebagai berikut:

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْني وَتُبْ عَلَيَّ
Rabbighfir li warhamni wa tub `alayya

“Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, dan berilah taubat kepadaku.”

Insya Allah, dengan mengamalkan istighfar ini, kita akan mendapatkan segala apa yang Allah janjikan dalam ayat tersebut.

Jangan Melampaui Dosis

Setelah Habib Ali menutup taushiyahnya, dua jama’ah pun mengajukan pertanyaan.

“Bib, bagaimana kiat untuk mengatasi rasa malas dalam menjalankan wiridan kita?” tanya Bapak Adi, jama’ah setia Zawiyah alKisah dari Tanggerang.

“Ada dua hal yang dapat membuat kita malas dalam mengamalkan suatu wiridan, demikian juga ibadah lainnya. Yaitu, pertama, kelebihan dosis, melebihi yang semestinya, atau melakukannya dengan ukuran yang di luar kemampuan kita. Kedua, belum menjadikannya sebagai kebutuhan hidup. Coba kita umpamakan istighfar ini, demikian juga wiridan yang lainnya, seperti bensin bagi kendaraan kita atau seperti pekerjaan bagi profesi kita. Dapatkah kita seenaknya mengisi atau tidak mengisikannya bagi kendaraan kita, atau semau kita tidak masuk kerja? Tentu kendaraan kita tidak akan berjalan, dan kita pun pasti akan dipecat bila seenaknya meninggalkan tugas kita.”

“Bib, puasa Senin-Kamis kami jalani, shalat-shalat sunnah kami lakukan, namun demikian rizqi kami tetap terasa seret dan biasa-biasa saja. Bagaimana ini?” tanya Gunawan, jama’ah yang lain dari Cengkareng.

“Jawabanya sama, lazimkanlah istighfar dan istiqamah. Jangan bersandar pada pekerjaan kita, tetapi dekatilah Allah, pasti  Allah memudahkan segala urusan dan usaha kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.