Senin, 13 Desember 2010

Habib Segaf bin Hasan Baharun: Hanya dengan Kebaikan…

Habib Segaf bin Hasan Baharun: Hanya dengan Kebaikan… PDF Print E-mail
(0 votes, average 0 out of 5)
Written by Fredi Wahyu Wasana   
Friday, 12 November 2010 17:21
"Ilmu agama hanya diberikan kepada orang-orang yang telah dicatat sebagai orang-orang yang berbahagia, dan tidaklah diharamkan kecuali terhadap orang-orang yang telah dicatat sebagai orang-orang yang celaka." (al-hadits).
Alhamdulillah, kita telah hadir di majelis yang menjadi sebab turunnya rahmat Allah. Nabi kita diutus tidak lain adalah untuk memberikan penjelasan, contoh, dan cara untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat nanti. Tetapi kita sudah mulai menyisihkan dan melupakannya, karena kita terlena dan terbius oleh godaan setan sehingga merasa tidak perlu lagi untuk menghadiri majelis ilmu agama. Padahal Imam Ghazali pernah berkata, “Andaikan tidak ada hadits yang menjelaskan ihwal keutamaan ilmu agama selain hadits yang mengatakan ‘Ilmu agama hanya diberikan kepada orang-orang yang telah dicatat sebagai orang-orang yang berbahagia, dan tidaklah diharamkan kecuali terhadap orang-orang yang telah dicatat sebagai orang-orang yang celaka’, cukuplah menjadi bekal kita untuk dapat memahami betapa pentingnya ilmu agama dan bahwa kita sangat membutuhkannya sebagai konsep dalam menjalani kehidupan.”

Lalu apa kaitannya ilmu agama dengan kebahagiaan?

Bila mengerti dan memahami ilmu agama dalam menjalani kehidupan, kita akan merasakan kebahagiaan dalam setiap jengkal dan episode kehidupan yang kita jalani. Bukankah segala kenikmatan asalnya hanya dari Allah? Apa yang kita lakukan dan kerjakan tidak akan pernah terwujud tanpa ada izin dari Allah SWT.

Andaikan kita menjalankan shalat lima waktu, menjalankan perintah Allah, puasa di bulan Ramadhan, haji ke Baitullah, zakat bagi yang mampu, berakhlaq dengan akhlaq yang baik, sudah barang tentu, bila semua konsep Islam itu kita laksanakan, otomatis kita pun akan dihormati masyarakat. Di dunia saja kita akan bahagia, apalagi di akhirat kelak, karena semua kebaikan itu akan mendatangkan keberkahan, dan keberkahan akan mendatangkan kebahagiaan.

Keberkahan mustahil akan kita dapatkan dengan kemaksiatan, melainkan hanya didapatkan dengan kebaikan. Landasan untuk hal ini adalah sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, “Apabila hamba-Ku taat kepada-Ku, Aku ridha kepadanya; dan bila Aku ridha kepada-Nya, Aku akan berkati kehidupannya. Dan ingatlah, keberkahan-Ku tidak hanya terbatas pada cucunya yang ketujuh. Dan apabila hamba-Ku durhaka kepada-Ku, Aku akan murka kepadanya; dan bila Aku murka kepadanya, Aku akan melaknatnya. Dan ingatlah, laknat-Ku itu akan sampai kepada keturunannya yang ketujuh.”

Tidak mungkin kebahagiaan akan didapatkan kecuali dengan adanya pedoman, tuntunan, dan konsep.

Lalu di mana kita dapatkan tuntunan itu? Jawabnya adalah syari’at Islam.

Di antara hal yang sangat dianjurkan dan diperintahkan oleh syari’at adalah mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang telah lalu. Kita mengambil pelajaran dari pribadi-pribadi yang telah menjadikan agama sebagai konsep dan pedoman dalam hidupnya.

Sosok pertama yang mesti kita ambil pelajaran darinya adalah Baginda Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad SAW

Bila kita menganggap problem dan masalah yang kita hadapi ini selama ini begitu berat, itu tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan problem yang dihadapai oleh Nabi. Padahal andaikan beliau meminta dan berdoa, pasti akan diterima oleh Allah SWT.

Setiap kali Nabi berdakwah, orang-orang kafir melempari beliau, menampar, dan menghina beliau. Bahkan suatu ketika, pada saat Nabi SAW tengah sujud di Ka`bah, seorang kafir Quraisy yang bernama Utbah bin Abi Mu`id membawa sekantung kotoran unta yang telah tersimpan selama tiga hari tiga malam lalu mengangkatnya tepat di atas kepala Nabi SAW dan merobeknya sehingga mengotori kepala dan wajah Nabi SAW.

Suatu ketika orang-orang kafir Quraisy menyewa seorang Yahudi untuk menyakiti Nabi. Di lorong yang biasa di lewati Nabi SAW untuk menuju Ka`bah, orang Yahudi itu berdiri untuk menunggu Nabi SAW. Di saat Nabi lewat, dia memanggil Nabi.

Beliau pun menengok, karena beliau tidak pernah mengecewakan siapa pun yang memanggilnya. Di saat itulah Yahudi tadi meludahi wajah Rasulullah SAW.

Nabi tidak sedikit pun marah atau menghardik Yahudi itu.

Keesokan harinya, Nabi kembali berjalan di tempat yang sama. Tidak sedikit pun beliau merasa dendam atau berusaha untuk menjauhi jalan tersebut. Sesampainya di tempat yang sama, Nabi pun kembali dipanggil dan diludahi seperti sebelumnya.

Demikianlah kejadian itu terus berulang selama beberapa hari hingga pada suatu hari Nabi tidak mendapati lagi orang yang meludahinya selama itu. Nabi pun bertanya dalam hatinya, “Ke mana gerangan orang yang selalu meludahiku?”

Setelah menanyakannya, tahulah Nabi bahwa orang tersebut jatuh sakit.

Nabi pun pulang ke rumah untuk mengambil makanan yang ada dan tak lupa pula mampir ke pasar, membeli buah-buahan, untuk menjenguk Yahudi yang tengah sakit itu.

Sesampainya di rumah si Yahudi, Nabi mengetuk pintu.

Dari dalam rumah, terdengar suara lirih Yahudi yang tengah sakit mendekati pintu sembari bertanya, “Siapa yang datang?”

“Saya, Muhammad,” jawab Nabi SAW.

“Muhammad siapa?” terdengar suara Yahudi itu kembali bertanya.

“Muhammad Rasulullah,” jawab Nabi lagi.

Setelah pintu dibuka, alangkah terkejutnya si Yahudi, menyaksikan sosok yang datang adalah orang yang selama itu disakitinya dan diludahi wajahnya.

“Untuk apa engkau datang kemari?” tanya Yahudi itu lagi.

“Aku datang untuk menjengukmu, wahai saudaraku, karena aku mendengar engkau jatuh sakit,” jawab Nabi SAW dengan suara yang lembut.

“Wahai Muhammad, ketahuilah bahwa sejak aku jatuh sakit, belum ada seorang pun datang menjengukku, bahkan Abu Jahal sekalipun, yang telah menyewaku untuk menyakitimu, padahal aku telah beberapa kali mengutus orang kepadanya agar ia segera datang memberikan sesuatu kepadaku. Namun engkau, yang telah aku sakiti selama ini dan aku ludahi berkali-kali, justru engkau yang pertama kali datang menjengukku,” kata Yahudi itu dengan nada terharu.

Keagungan akhlaq Nabi SAW telah meluluhkan hatinya. Ia pun memeluk Nabi dan menyatakan dirinya masuk Islam.

Perhatikanlah, mengapa Nabi tetap bersabar dengan semua perlakuan itu? Dan mengapa Nabi memilih jalan semacam itu dalam hidupnya? Jawabnya, karena Nabi adalah manusia yang paling tahu bahwa dengan cobaan itulah akan didapatkan ridha Allah SWT yang teramat mahal dan berharga, pahala yang besar dan derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Inilah yang membuat derajat Nabi SAW sangat tinggi sampai pada tingkatan yang tidak pernah dicapai oleh seorang makhluk mana pun selain Nabi.

Sabda Nabi, manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para ulama, kemudian orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka, dan seterusnya.


Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq

Mungkin ada di antara kita yang berkata, “Itu kan Rasulullah SAW.”

Baiklah, cobalah lihat Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebelum menjadi khalifah, hampir setiap hari beliau berkeliling untuk membantu orang-orang yang lemah, janda-janda tua, dan fakir miskin, membantu untuk meringankan pekerjaan berat yang mereka lakukan.

Setelah beliau diangkat menjadi khalifah, masyarakat berkata, “Pastilah Abu Bakar tidak akan lagi pernah datang membantu kita, karena kesibukan dan kedudukannya.”

Namun, setelah diangkat sebagai khalifah, Sayyidina Abu Bakar tetap mendatangi mereka dan membantu meringankan pekerjaan mereka. “Janganlah kalian menganggap setelah aku diangkat sebagai khalifah, aku akan meninggalkan pekerjaan semacam ini. Ketahuilah, pekerjaan semacam inilah yang akan mendatangkan ridha Allah SWT,” kata beliau.

Selain itu, diriwayatkan pula bahwa Sayyidina Abu Bakar senantiasa memasukkan tiga buah batu kecil ke dalam mulutnya. Bila beliau hendak berbicara atau makan-minum, barulah batu itu diletakkannya. Setelah itu, dipasangnya kembali.

Seseorang bertanya kepadanya, “Untuk apa engkau lakukan itu, wahai Amirul Mu'minin?”
“Aku melakukan ini karena kekasihku, Nabi Muhammad SAW, telah mengatakan bahwa lisan inilah yang menyebabkan banyak manusia masuk ke dalam neraka,” jawab Sayyidina Abu Bakar.

Sayyidina Umar bin Al-Khththab

Kemudain coba perhatikan pula Sayyidina Umar bin Al-Khththab. Di antara yang menjadi rutinitas beliau adalah keliling melihat-lihat keadaan masyarakat.

Suatu ketika Sayyidina Umar mendapati sebuah kemah yang tampak dari kejauhan. Beliau mendekati kemah itu untuk mengetahui keadaan penghuni di dalamnya.

Setelah mendekat, beliau mendengar suara rintihan wanita dari dalam kemah. Beliau pun menghampiri pintu kemah dan menanyakan siapa di dalam kemah.

Dari dalam kemah keluarlah seorang laki-laki separuh baya menemui Sayyidina Umar.
“Wahai Tuan, apa yang membuat Tuan tinggal di tempat semacam ini?” tanya Sayyidina Umar kepada orang itu.

“Aku tinggal di tempat ini karena ingin mendapatkan kemuliaan seperti kemuliaan yang dimiliki oleh Amirul Mu`minin, Umar bin Al-Khaththab,” jawab orang itu, tidak menyadari bahwa yang di berada di hadapannya adalah Sayyidina Umar bin Al-Khaththab.

“Lantas suara rintihan siapakah yang di dalam itu?” tanya Sayyidina Umar.

“Itu adalah istriku yang akan melahirkan, tapi aku tidak tahu bagaimana cara membantunya untuk melahirkan. Adapun aku sendiri, karena menjaga istriku yang belum juga melahirkan, sudah dua hari belum merasakan makanan,” jawab orang itu dengan polosnya.

Mendengar penjelasan lelaki tengah baya itu, Sayyidina Umar bergegas kembali ke rumahnya. Beliau menemui istri tercintanya, Ummu Kultsum, cucu Rasulullah SAW, dan berkata, “Wahai putri orang-orang paling mulia, maukah engkau menolong seseorang?”

“Apa yang mesti aku lakukan, wahai suamiku,” tanya Ummu Kultsum kepada Sayyidina Umar dengan nada lembut.

“Ada seorang wanita yang hendak melahirkan, ikutlah bersamaku,” jawab Sayyidina Umar.
Ummu Kultsum mengiyakan ajakan suaminya, dan keduanya pun segera bergegas menuju kemah yang berada di pinggiran kota dengan membawa perbekalan yang diperlukan. Sayyidina Umar memikul semua bahan makanan dan perbekalan di atas pundaknya sendiri.

Sesampainya di kemah, Sayyidina Umar segera meminta istrinya untuk masuk ke dalam, membantu persalinan. Sementara beliau sibuk memasak makanan untuk keluarga itu, yang sudah dua hari tidak merasakan makanan.

Setelah proses persalinan usai, Ummu Kultsum pun keluar menemui suaminya dan berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, berikanlah kabar gembira kepada suami wanita ini bahwa istrinya telah melahirkan seorang anak laki-laki.”

Mendengar Ummu Kultsum memanggil suaminya dengan sebutan "Amirul Mu'minin", tersadarlah laki-laki itu bahwa orang yang selama itu sibuk memasak dan mengaduk adonan dengan tangannya sendiri dan duduk-duduk bersamanya adalah Khalifah Umar bin Al-Khaththab. Maka ia pun mundur ke belakang hendak memberikan penghormatan kepada Khalifah.

Namun Sayyidina Umar melarangnya dan menyuruhnya tetap berada didekatnya seperti sebelumnya.

Laki-laki itu pun menangis dan memeluk Sayyidina Umar dengan erat sekali. Ia tak menyangka bahwa yang menolongnya adalah Khalifah dan istrinya, cucu Rasulullah SAW, putri Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Perhatikan, betapa indah akhlaq dan perilaku Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar bin Al-Khaththab. Mereka adalah orang-orang yang telah dijamin masuk surga, namun mereka tetap berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang harus kita  teladani....

Demikian uraian Habib Segaf bin Hasan Baharun di Zawiyah alKisah pada Kamis (21/10). Habib Segaf adalah salah seorang pengasuh Ponpes Putri Darullughah Wadda`wah (Dalwa), Bangil, Jawa Timur, yang juga pengasuh rubrik Fiqhun Nisa’ di Majalah alKisah.



Mintalah Hak Kita hanya kepada Allah


Usai Habib Segaf memberikan taushiyah, beberapa jama’ah mengajukan pertanyaan. Mereka adalah M. Junaidi dari Radio WADI 102 FM, M. Yasir dari Tangerang, Endang dari Aneka Yess!, Gunawan dari Cengkareng, dan Adi Sumarwan dari Tangerang.

"Habib, di zaman sekarang, kita hidup tidak mungkin dapat terlepas dari kemaksiatan. Lalu bagaimana cara kita meraih keberkahan?" tanya Muhammad Junaidi.

"Kiatnya, pertama, bentengi diri kita dengan ilmu agama. Lalu, kalaupun kita melakukan kesalahan, cepat-cepatlah bertaubat, memohon ampun kepada Allah SWT," jawab Habib Segaf.

"Habib, bagaimana hukumnya orang yang sedang melakukan safar di bulan Ramadhan kemudian dalam keadaan tidak berpuasa karena safarnya ia melakukan hubungan suami-istri?" tanya M. Yasir.

"Orang yang sedang mendapatkan keringanan agama, dalam hal ini sedang melakukan safar panjang, yaitu perjalanan lebih dari 84 km, lalu ia melakukan hubungan suami-istri, tidak terkena kafarah sama sekali,” begitu jawaban Habib Segaf. Padat tapi sangat meyakinkan.

"Habib, bagaimana caranya agar kita mendapat pemimpin yang adil seperti Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khaththab RA?" tanya Endang.

"Di zaman sekarang ini kita akan sulit untuk mendapatkan pemimpin yang adil seperti mereka, kecuali bila kita mengalami zamannya Imam Mahdi.

Pemimpin itu memang penting, namun yang lebih penting adalah diri kita sendiri. Ingat, kita akan meninggal sendiri, di dalam kubur sendiri, dan dibangkitkan sendiri pula," jawab Habib Segaf.

"Habib, bagaimana kiat sukses dunia-akhirat agar mendapat keberkahan dan selalu istiqamah?" tanya Gunawan. Sedang pertanyaan Adi, "Habib, bagaimana bila ada mertua dan menantu tidak akur, padahal keduanya katanya sama-sama mengerti agama. Bagaimana cara mendamaikan keduanya?"

"Kerena kedua pertanyaan sejenis, saya berikan satu jawaban saja.

Agar hidup bahagia dan berkah, ada dua hal yang harus benar-benar kita perhatikan, yaitu hablun minallah, hubungan dengan Allah, dan hablun minannas, hubungan dengan sesama manusia. Untuk yang pertama, amalkan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sedang untuk yang kedua, kata kuncinya: berikan semua hak manusia dari diri kita kepada mereka, namun mintalah hak kita hanya kepada Allah," jawab Habib Segaf menyudahi uraiannya.

Kegembiraan juga terpancar dari wajah Pemimpin Redaksi alKisah, Harun Musawa. “Berpuluh-puluh tahun saya menjadi wartawan tapi saya merasa belum bisa bercerita sebagaimana Habib. Mutiara yang satu dengan mutiara yang lain diuntai dengan begitu indahnya. Hal ini yang perlu menjadi perhatian kami, khususnya para wartawan alKisah, sehingga ke depannya akan lebih mampu memberikan suguhan kisah-kisah yang penuh mutiara hikmah yang digemari pembaca."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.