Kamis, 02 Desember 2010

Ramadhan dan Penyucian Diri

Ramadha dan Penyucian Diri
Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Hal yang paling menonjol dilakukan kaum Muslim selama bulan Ramadhan adalah tazkiyatun-nafsi (penyucian diri). Ramadhan bahkan sering dijadikan sebagai momentum untuk menyucikan diri.

Secara bahasa, istilah tazkiyah an-nafs merupakan gabungan dari dua kata, yakni tazkiyah dan nafs. Tazkiyah berasal dari kata zakkâ-yuzzaki-tazkiyah, yang maknanya sama dengan tathhîr (dari kata thahhara-yuthahhiru-tathhîr[ah]), yang berarti penyucian, pembersihan, atau pemurnian. (Lihat: Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, 1996, hlm. 469; Lihat juga: ar-Razi, 1995: 1/115). Adapun nafs adalah kata yang multimakna (musytarak). Dalam sebagian kamus bahasa Arab, kata nafs sering diterjemahkan dengan diri, jasad, jiwa, nafsu, ruh, atau kalbu (Lihat: Ibn Manzhur, t.t., 6/234-238).
Perbedaan dalam memaknai kata nafs ini—yang di antaranya dimaknai secara bahasa semata—berimplikasi pada lahirnya perbedaan di dalam memahami konsep tazkiyatun-nafsi. Karena konsep yang dipahami berbeda, maka 'aksi' yang dilakukan dalam rangka tazkiyatun-nafsi juga berbeda-beda meski mengarah pada aktivitas yang sama: bersifat ritual, spiritual dan individual semata. Ini karena nafs sering diartikan sebagai jiwa, sedangkan jiwa sering diidentikkan dengan kalbu, bahkan ruh. Kalbu sendiri sering dipahami sebagai hati/perasaan sehingga istilah 'manajemen kalbu' lebih tampak sebagai 'manajemen perasaan'.

Di sisi lain, ada faktor lain yang lebih dominan dalam memunculkan aktivitas sebagian kaum Muslim dalam upayanya melakukan proses tazkiyah an-nafs yang tampak hanya bersifat ritual, spiritual, dan individual belaka. Faktor yang dimaksud tidak lain adalah dominannya sekulerisme dan sekulerisasi dalam seluruh aspek kehidupan kaum Muslim yang dipaksakan oleh negara.

Akibat sekulerisme dan sekulerisasi, tazkiyatun-nafsi sering bersifat ritual karena yang tampak ke permukaan adalah sebatas praktik memperbanyak ibadah-ibadah ritual seperti shalat dan shaum sunnah, zikir/wirid, dll. Praktik ibadah secara umum seperti muamalat (dalam lingkup sosial, ekonomi, politik, pendidikan, budaya, pemerintahan, hukum, dan keamanan)—yang notanebe juga harus dijalankan sesuai dengan aturan-aturan Allah sebagaimana halnya shalat dan shaum—cenderung diabaikan sama sekali.

Tazkiyatun-nafs juga sering bersifat spiritual karena yang menonjol adalah aspek 'batiniah'-nya semata, tanpa mengaitkannya dengan gerak dan perilaku lahiriah. Bagaimana, misalnya, ada seorang Muslim yang rajin melapalkan dzikir/wirid berjam-jam setiap hari, sementara di luar itu ia tetap menjalankan transaksi riba, diam terhadap berbagai kemungkaran, tidak mau terlibat dalam perjuangan menegakkan syariat Islam, dll? Bagaimana pula, misalnya, ada artis atau selebritis yang begitu merasakan ketentraman dalam melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan, sementara pada saat yang sama ia juga merasa 'tentram' dengan profesinya yang menuntut dirinya melakukan pornografi dan pornoaksi setiap hari dengan memamerkan auratnya, atau merasa 'tenang' dengan pergaulan bebas yang dijalaninya?

Tazkiyatun-nafs juga sering bersifat individual karena yang kerap terjadi sebatas menyentuh hal-hal yang berada dalam wilayah privat, tidak menyentuh wilayah sosial; apalagi wilayah politik, ekonomi, pemerintahan dan hukum.

*****

Di dalam Alquran, ada beberapa pengertian dari tazkiyah an-nafs. Di antaranya adalah:
Pertama, menyucikan diri dari kemusyrikan dan kekufuran: Dialah Yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka… (TQS al-Jumuah [62]: 2).

Menurut Imam ath-Thabari, maksud frase yuzakkîhim (menyucikan mereka) dalam ayat di atas adalah menyucikan mereka dari kekufuran (QS ath-Thabari, 28/93). Frase yuzakkîhim, menurut Imam al-Qurthubi, juga bisa bermakna menjadikan kalbu-kalbu mereka suci dengan keimanan.

Kedua, menyucikan diri dari keburukan-keburukan amal perbuatan dengan melakukan amal-amal shalih. Pengertian ini antara lain dikemukakan oleh Abi as-Sa'ud ketika menafsirkan ayat di atas (Tafsir Abi as-Sa'ud, VIII/247).

Ketiga, menjalankan ketaatan kepada Allah: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu… (TQS asy-Syam [91]: 6-9). Menurut Imam al-Qurthubi dan Imam Ibn Katsir, frase man zakkâha maksudnya adalah siapa yang disucikan jiwa oleh Allah dengan ketaatan kepada-Nya.

Keempat, tidak memiliki dosa atau bertobat dari dosa-dosa: Musa berkata, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang suci?" (TQS al-Kahfi [18]: 74).
Mengutip Abu Amr, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa kata zakiyyah dalam ayat di atas adalah orang yang tidak berdosa sedikit pun, tetapi bisa juga orang yang berdosa kemudian ia bertobat dari dosanya.

Kelima, totalitas keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT: Itu adalah balasan bagi orang yang menyucikan diri. (TQS Thaha [20] 76). Ibn Katsir menyatakan, man tazakkâ pada ayat di atas maknanya adalah yang menyucikan dirinya dari dosa, keburukan dan syirik; hanya menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dan senantiasa mengikuti segala perbuatan baik  sebagaimana yang dicontohkan oleh para rasul.
Walhasil, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa konsep tazkiyah an-nafs sesungguhnya mencakup dua hal saja, yakni memurnikan keimanan kepada Allah dan menjalankan ketaatan secara total kepada-Nya. Itu hanya mungkin jika umat ini memberlakukan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka.

Wallâhu a'lam bi ash-shawâb.
[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.