Sabtu, 11 Desember 2010

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia

Tujuh Indikator Kebahagiaan Dunia Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Ditulis oleh Pandu Sukardanu   
Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW
yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, 
dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain 
itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah 
menjadi imam di mesjid. 
Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi'in 
(generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang 
dimaksud dengan kebahagiaan dunia. 
Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :

Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), 
sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah
nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur
sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang
diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan 
Allah. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah 
SAW yaitu :"Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih 
sulit dari kita".Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan 
memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya 
dengan kemudahan yang lebih besar lagi.
Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan 
mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka 
berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.

Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan 
keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami 
(sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam 
mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi
seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan 
bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya
menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh,
akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam
melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. 
Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang 
istri yang sholeh.

Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan 
seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf 
Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : "Kenapa pundakmu itu ?" 
Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai
seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya 
tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika 
buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu 
sisanya saya selalu menggendongnya" . Lalu anak muda itu bertanya: 
" Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah
berbakti kepada orang tua ?" Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu 
dan mengatakan: 
"Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, 
tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu". 
Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita 
ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang 
tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak 
yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya 
dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak 
yang sholeh.

Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk 
iman kita.

Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh 
mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat 
karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah 
terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah 
menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang
sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada 
kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-
orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman
dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. 
Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang 
yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu 
dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta 
tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya
untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, 
Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa
mengangkat tangan. "Kamu berdoa sudah bagus", kata Nabi SAW, 
"Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya
didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. 
Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya
sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan 
menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, 
suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya.
Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti 
menjaga kehalalan hartanya.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu
-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia 
terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-
sifat Allah dan ciptaan-Nya. 
Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin
ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi 
cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi
cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” 
kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi 
cahaya nikmat Islam dan nikmat iman.
Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama
Islam.
 
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.

Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin
sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang
yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari 
tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) 
tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya 
(post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada 
bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk 
berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat 
rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan
yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan
banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) 
maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang 
Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang 
Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia
ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam 
kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah 
semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka 
berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah. 

Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 Indikator 
Kebahagiaan Dunia. 

Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah 
indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras kita
untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan 
sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa ‘sapu jagat’ , yaitu
doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris
pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” 
(yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia ”),
mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ketujuh 
indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, 
yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak
yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang
halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang 
baroqah. 

Walaupun kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di
dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat
sebagian saja sudah patut kita syukuri. 

Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu
“wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan
akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. 
Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih 
sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah,
kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena 
rahmat Allah.

Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap 
hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan 
tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan
seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang
dijanjikan Allah. Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian 
lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat
bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab 
Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak 
cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu 
dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : 
“Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah
semata”.

Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah 
sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat
Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah
(Insya Allah, Amiin).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.